Jumat, 08 Februari 2008

Si Ganteng Mehdi

Oh, si ganteng yang malang
Siang itu udara cukup panas di luar. Tapi di kelasku terasa sejuk karena berpendingin udara. Anak-anak kelasku berhamburan keluar setelah selesai berdoa dan berpamitan. Seperti biasanya aku menunggui mereka memasang sepatu satu persatu. Anak-anak itu lucu-lucu. Dengan tas berat di punggung, mereka berjongkok atau kadang duduk di lantai memasang sepatu. Beberapa anak yang mengalami kesulitan aku bantu memasangkan kancing sepatunya. Beberapa orang tua murid menunggui anak-anak mereka sambil membawakan tas sekolah mereka. Ada juga pembantu yang biasa mengantar dan menjemput sambil memegangi payung. Sambil tersenyum aku membalas salam mereka.
Jadwalku pada hari itu, Selasa, adalah memberikan remedial pada murid-muridku yang mengalami kesulitan belajar dalam proses sehari-hari. Dua sampai empat anak kukumpulkan. Pada umumnya mereka merasa senang karena bisa bermain lebih lama di sekolah. Tapi ada satu murid laki-laki yang sangat ingin kabur dari jadwal hari itu. Aku mencarinya ke aula, ke toilet atau di bawah tangga tempat wudhu. Aku sering memergokinya berdiri di situ sambil menghisap jarinya. Kadang alasannya ingin buang air kecil sambil berpura-pura kebelet, dengan menhimpitkan rapat-rapat kedua belah kakinya. Mungkin kebelet betul, tetapi ketika lama kutunggu tidak kembali, pastilah aku mencarinya ke mana-mana. Ia adalah salah satu tanggung jawabku.
Seperti siang itu, aku mendapatinya bersembunyi di balik pepohonan. Ah!
“Mehdi.........! Kamu sedang apa di situ? Ayo masuk, sayang. “ Panggilku.
“Mehdi mau pulang aja, Miss! Kata Umi, Mehdi disuruh pulang, soalnya di
rumah gak ada orang, nanti gak ada yang jemput. Kata Umi, Mehdi disuruh belajar di rumah aja!” Ah, penjelasan yang berbeli-belit.
Aku tahu ia berbohong seperti biasanya. Sering ketika aku menelpon Uminya, ia terheran-heran dengan kebohongan yang diucapkan anaknya. Itu kalau Uminya bisa kuhubungi. Kadang telpon genggamnya tidak diangkat, kadang tidak aktif. Si Umi pun jarang menelpon kembali. Seolah semua tentang anaknya baik-baik saja. Ataukah ia merasa sudah menyerahkannya pada sekolah semua tanggung jawab untuk mendidiknya?
Dulu ketika ia di kelas satu, sulit sekali melatihnya belajar membaca dan menulis. Aku tahu dari guru kelasnya. Bahkan aku melihatnya sendiri, tak pernah ada tugas yang mampu ia selesaikan. Sepanjang waktu ia mengerjakannya, harus selalu didampingi guru kelas sampai selesai dan dituntun menulis huruf dan mengejanya satu persatu. Itupun belum berhasil sesuai harapan.
Dengan kurikulum saat ini yang tidak seperti zaman ketika aku masih anak-anak tentulah kegiatan belajar mengajar dan muatan materi jauh lebih berat bagi anak usia 6-7 tahunan. Adalah kebijakan sekolah ketika ia harus naik ke kelas dua, meski belum bisa membaca, menulis, berhitung atau memahami materi secara normal. Di kelas dua, akulah guru kelasnya. Dari situ aku tahu bahwa kemampuannya tak lebih baik dari anak usia TK B.
Ketika aku menerangkan pelajaran, aku sangat memahami bahwa ia tidak mendengarnya, tidak konsentrasi, atau bahkan sering tidak membawa buku pelajaran. Buku tulisnya hanya satu dan isinya kosong. Hanya satu dua lembar terisi itupun tidak jelas tulisannya.

Jika aku memberinya tugas dan tidak terselesaikan pada jamnya, kujadikan PR. Tetapi buku penghubungnya hampir tidak pernah dibaca oleh orang tuanya.
Salah seorang temanku pernah menjadi guru les keluarga itu. Ia mengeluhkan tentang cara Uminya menyuruhnya belajar atau mengerjakan PR. Dengan mata kepala sendiri ia melihat anak tersebut digebuki dengan benda apapun yang terjangkau oleh tangan Umi. Diakui oleh temanku bahwa sang Umi luar biasa keras dan menggunakan kekerasan dalam mendidik anak-anak mereka yang semuanya laki-laki. Muridku ini adalah anak kedua dari tiga bersaudara itu. Temanku saat itu menjadi guru les bagi kakaknya yang sulung ketika masih duduk dikelas satu SD. Pernah suatu kali temanku melihat sang Umi menggebuki mereka dengan sajadah sekeras-kerasnya. Pernah pula dilihatnya sang anak berlarian menghindari raket setruman nyamuk yang ketika dipukulkan pada si anak pasti dipencet tombolnya sehingga menimbulkan kilatan-kilatan setrum kecil pada tubuhnya. Belum teriakan-teriakan yang memekakkan telinga temanku. Saat itu temanku kebetulan sedang hamil anak pertamanya dan membatin :”Na’uzhubillaahiminzalik...........”
Aku sering mendengar keluhan keluhan temanku itu yang merasa kurang nyaman dengan suasana ribut dan teriakan. Apalagi anak-anak tersebut cenderung berlarian kesana-kemari ketika dikejar oleh sang Umi dengan mengacung-acungkan sapu lidi atau sapu ijuk. Temanku cuma bisa mengelus dada. Itu satu kisah dari temanku yang pada akhirnya tidak mau lagi memberi les di sana.
Seorang kerabatnya yang kebetulan juga temanku pernah menceritakan hal yang sama. Tak pernah ada pembantu yang betah bekerja di rumah itu. Anak-anak mereka sering biru-biru oleh cubitan Uminya. Masya Allah.......! Aku hanya berpikir bagaimana mungkin terjadi kekerasan orang tua terhadap anak-anaknya sendiri? Saat itu aku belum mengenal keluarga itu. Baru dua tahun setelah itu aku mengajar anak keduanya dikelas dua. Kuamati perilaku Mehdi sehari-hari yang amat tidak perhatian dan tidak memahami hampir seluruh penjelasanku bahkan tentang hal-hal sederhana dan ringan sekalipun.
Satu saat yang masih lekat dalam ingatanku ketika ia kuberi tugas membaca karangan pendek hanya dua paragraph berjudul Ani Merawat Kebun. Ia harus mengeja satu persatu setiap huruf dan baru merangkaikannya. Jika selesai membaca satu kalimat, aku menyuruhnya mengulang lagi, untuk membantunya memahami setiap kata dan keseluruhan kalimat. Diulanginya lagi namun tetap dengan cara yang sama lambatnya. Oh, my God!
Aku menghubungi orang tuanya untuk menemuiku dan membicarakan kesulitan membaca dan menulisnya. Kusarankan ia untuk mengikuti kursus membaca dan menulis yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Kuberikan alamatnya dengan jelas, agar ia segera mendaftar. Berminggu-minggu kemudian barulah itu terlaksana. Ketika itu aku dalam keadaan panik karena akan Ulangan Semester. Dalam kurun waktu tersebut bocah ganteng tersebut menyatakan tidak mau ikut jadwal remedial karena akan kursus membaca dan menulis di sore harinya. Aku tidak memaksa. Berbagai alasan ia kemukakan. Kuhubungi Uminya (aku takut ia berbohong). Tidak ada yang menjawab telponku.
Ketika jadwal Ulangan Semester menjelang 1 minggu lagi, kupaksa Mehdi ikut Remedial dan Uminya pun gencar menghubungiku. Tapi apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya berhasil hanya dalam waktu sesingkat itu? Menulispun ia belum lancar!
Suatu saat ketika ia kuajarkan Matematika tentang berhitung sampai jumlah ratusan ia mengalami kesulitan. Kuberikan 5 soal, namun ia hanya mampu menjawab satu soal dalam waktu 1 jam. Padahal itu dikerjakan dengan cara bersusun ke bawah.
“ Masya Allah Mehdi.........Ini kan pakai cara meminjam dan menyimpan? Masa kamu lupa? Ini pelajaran kelas satu!” Kataku
“Oh iya. Ini tidak bisa dikurangi. Berarti meminjam ya Bu?” Sahutnya tersenyum-senyum. Kasihan. Anak itu lugu dan sama sekali tidak menyadari bahwa aku terheran-heran ia tidak bisa menyelesaikannya. Kuperiksa hasilnya masih salah.
“ Ini kan sudah dipinjam. Seharusnya sudah berkurang dong, kok masih tetap? Coba hitung lagi. Kamu kan pintar!” Kuhapus angka yang salah itu. Itu baru satu soal.
“Oh, iya! Mmmm.......” Katanya sambil mengulum pensilnya yang segera saja aku tarik. Hal itu sering dilakukannya ketika sudah makin bosan dan putus asa.
Dalam menghadapi mata pelajaran lain seperti melakukan kegiatan kelompok, praktikum sederhana misalnya, tetap saja ia tidak tanggap terhadap kegiatan yang dilakukannya. Ia hanya ikut berjalan kesana kemari dan bermain air. (Saat itu praktikum tentang sifat benda). Diakhir tugas murid-muridku harus membuat laporan, tidak ada sesuatupun yang ditulisnya. Ketika murid-murid lainnya selesai dalam waktu kurang dari satu jam, ia belum menulis satu hurufpun! Aku menghela nafas. Aku merasa sudah cukup berusaha dengan mendudukkannya di dekat tempat dudukku agar bisa aku monitor. Tapi nampaknya tidak berhasil. Atau belum?
Setelah serangkaian surat dilayangkan kepada orang tuanya mengenai anak itu, Uminya menjanjikan akan menemui psikolog sekolah sesuai yang dijadwalkan. Bayangkan, 4 minggu berturut turut ia tidak datang, terkadang alasannya karena repot, kadang alasannya tidak membaca surat panggilan itu, atau alasannya karena si anak tidak memberitahukan surat itu. Aneh! Menurutku, seharusnya Uminyalah yang lebih gesit menanyakan perkembangan putranya. Tetapi yang terjadi adalah, orang tuanya sangat mengandalkan guru les. Hampir seluruh temanku pernah dimintanya memberi les tambahan, tetapi hampir semuanya menyerah hanya setelah melewati beberapa kali pertemuan. Berkali-kali kukatakan dalam sebuah pertemuan, agar di rumahpun harus selalu dibimbing. Tidak bisa hanya mengandalkan remedial dan les privat saja. Selama ini aku tidak mendapatkan kemajuan yang cukup berarti.
Berdasarkan penelitian psikolog dari pengamatan perilaku, Mehdi melakukan pertahanan diri jika berhadapan dengan orang dewasa. Ia selalu merasa bahwa semua orang dewasa adalah ancaman baginya. Ia diam, tidak membuka diri, dan kelihatan seperti bersiaga terhadap serangan. Tatapan matanya selalu waspada. Ia merasa orang dewasa pasti akan menyerangnya.
Ya Allah................menurut Psikolog sahabatku itu, sudah terlalu lama anak itu mengalami kekerasan dan ketakutan, sehingga tidak mampu menerima penjelasan apapun dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Ah....aku maklum mengapa ia diam saja, menatap kemana-mana atau bahkan hanya menunduk jika kudekati. Kertasnya selalu kosong. Nothing less than that!.
Hasil tes intelegensi menyatakan bahwa angka kecerdasannya diambang batas rata-rata rendah. Perlakuan yang harus diterimanya adalah tidak memaksa, mengamati pekerjaannya dari belakangnya atau sampingnya, sehingga ia tetap merasa nyaman dan tidak diawasi. Beri dorongan dan pujian jika ia berhasil. Aku baca berulang-ulang hasil tes dan saran perlakuan. Tetapi aku merasa apakah tidak terlalu terlambat untuk semua ini? Aku mulai dihinggapi putus asa. Apa yang harus kulakukan?
Suatu siang sepulang sekolah, kuajak Mehdi berbicara serius tentang dirinya. Aku ingin mencoba membuka pikirannya. Entah akan berhasil atau tidak, aku ajak ia bicara serius.
“ Mehdi, Ibu sayang sama Mehdi. Ibu ingin Mehdi berhasil. Eh, kalau sudah besar Mehdi mau jadi apa?” Sambil bertanya begitu aku ingat ketika ia mewarnai gambar orang dan menulis cita-citanya, ia bercita-cita jadi supir truk. Ya...buatku jawaban itu menggelikan meski siapapun boleh bercita-cita menjadi apa saja yang disukainya. Kupikir menjadi supir truk adalah sesuatu yang cukup berharga buat Mehdi. Aku menghargai tulisannya.
Namun ketika semua murid-muridku menulis cita-cita ingin menjadi dokter, insinyur, banker, pengusaha, pilot atau minimal guru, buatku jawaban Mehdi paling unik. Ketika aku tanya lagi,
“Kenapa kamu pingin jadi supir truk, sayang?”
“Ngggak tau! Mau aja!” Jawabnya senyum-senyum sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya.
“Enak ya jadi supir truk, bawa mobil besar? Bisa jalan-jalan kemana-mana.”
“Ya gak enak lah! “
“Lalu, kenapa kamu memilih cita-cita itu kalau gak enak?” Sambil kubelai tangannya lembut karena ia mengatupkan kedua belah tangannya dengan sebuah pensil pendek dalam genggamannya. Sementara kepalanya tertunduk tidak berani menatap.
“Yaa....kan Mehdi gak bisa jadi yang kayak temen-temen? “ Katanya senyum.
“ Siapa bilang? Mehdi bisa asal rajin belajar. Semua orang juga bisa kalau tekun belajar” Kataku memberi semangat.
“Tapi.’kan Mehdi gak pinter seperti lainnya? Kata Umi Mehdi goblok” Masih tersenyum
“ Ah, masa’ Umimu bilang begitu? Maksudnya kalau tidak mau belajar jadi bodoh” Ungkapku sambil menahan nafas.
“ Iya. Kan Umi kalau marahin Mehdi ‘Dasar goblok! Bego!’ gitu. Ya emang Mehdi goblok kali’. Kan Mehdi gak bisa apa-apa” Sambil tersenyum ia menggelengkan kepalanya. Matanya yang kecoklatan bersinar sendu.
“ Mehdi, Ibu yakin Mehdi bisa. Karena Mehdi tidak bodoh. Tapi harus rajin belajar” Kataku dengan rasa prihatin.
Sudah jelas ia memiliki konsep diri yang rendah. Kugandeng tangannya, lalu kami melangkah keluar kelas bersama. Ia tampak nyaman. Di luar tukang ojek sudah menunggu. Kulepas dia dengan pesan agar berhati-hati, di rumah jangan terlalu sering nonton TV atau bermain gem computer. Entah usahaku berhasil atau tidak, itu adalah kisah setahun yang lalu.
Sekarang bocah ganteng itu sudah duduk di kelas tiga. Namun setiap bertemu di halaman sekolah, ia pasti tersenyum ceria sambil malu-malu melihatku. Kucubit pipinya mengucap salam dan menanyakan apa kabar. Ia tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum menunduk.
Sesekali Uminya masih meneleponku untuk memintaku mengajari anak itu secara privat. Kusanggupi saja dengan harapan ini akan berlangsung rutin dan intensive. Aku ingin ia berhasil menyamai kemampuan rata-rata anak lainnya.
Ternyata berbulan-bulan telah berlalu ia tidak datang juga. Alasannya adalah karena rumahnya sedang direnovasi sehingga semua buku-bukunya hilang entah dimana. Kadang tidak ada yang mengantar. Aku mengelus dada. Sampai sedemikian parahnyakah ketidak perdulian orang tuanya? Aku hanyalah orang lain yang peduli pada anak itu dan dimintai bantuan. Tak lebih yang bisa kulakukan. Ketika kutanyakan pada guru kelasnya sekarang tentang perkembangan Mehdi, jawabannya serupa dengan keluhan-keluhanku ditahun lalu. Masih mengalami kesulitan membaca, menulis, bahkan berkonsentrasi pada tugas. Banyak pekerjaan yang tidak dapat diselesaikannya di sekolah.
Sebulan lagi ulangan semester. Karena panik, Uminya meneleponku meminta bantuan serius. Kusanggupi ia untuk datang sesuai hari yang dijanjikan.
Sore itu Uminya mengantar Mehdi ke rumahku dan membawa segala buku yang diperlukan. Masya Allah! Aku tidak tahu harus mulai dari mana? Konsep pelajaran kelas tiga sudah lebih kompleks. Sementara aku harus mulai dari konsep sederhana Matematika, dan ia masih menghitung dengan jari angka 4 – 2 atau 6 + 3!!! Tadinya aku ingin mengajarinya pelajaran Bahasa Indonesia tentang lawan kata, atau membuat kalimat tanya dari sebuah kalimat berita. Namun satu setengah jam hanya menghitung 5 soal penjumlahan dan 4 soal cerita (yang harus kubimbing satu persatu).
Aku sudah mulai putus asa dan merasa tak sanggup. Ketika Uminya datang menjemput, aku ceritakan keadaan sebenarnya, sampai dimana perkembangannya, dan Uminya hanya menggelengkan kepala. Ketika kuberi nasihat Mehdi dan Uminya saling berbantah-bantahn dan saling menyalahkan. Aku tidak tahu siapa yang berbohong. Atau bagaimana proses mendisiplinkan jadwal belajarnya di rumah?
Tiga hari sudah berlalu. Aku tidak berani menjamin ia akan berkembang bahkan hanya seperlima saja dari target saat ini. Karena itu akan saling berkejaran dengan materi yang cukup berat baginya. Kurang lebih dua hari menjelang saat ulangan semester, Uminya meneleponku lagi, pukul sembilan lewat duapuluh enam menit. Memaksaku mengajarinya setiap hari untuk mengejar Ulangan Semester. Kusanggupi saja demi rasa kasihan pada anak itu. Meski sebetulnya jadwalku begitu padat. Hampir tanpa istirahat.
Kali inipun yang kualami tak jauh berbeda dengan yang lalu. Mehdi sulit sekali mengingat materi apapun. Mukjizat para Nabi dan Rasul meski sudah kuulangi, kugambar dengan symbol-simbol, kubolak-balik menjadi teka-teki mencari jejak, semisal gambar api membara lalu ada orang ditengahnya tidak terbakar, dengan tulisan Nabi Ibrahim a.s. di sekelilingnya dan seterusnya (hanya 6 Nabi) lalu kusuruh ia menarik garis sesuai arahnya, tetap saja salah tak keruan. Kutulis lagi dengan huruf-huruf singkat, kusuruh ia mengulangi setiap ucapanku (Drill) tetap saja tidak membekas. Hanya 6 mukjizat dan nama Nabinya menghabiskan waktu 1 jam 40 menit! Ia merasa bosan dan ingin belajar yang lain.
Malam itu kurenungi apa yang sudah berhasil kuperbuat untuk Mehdi. Aku merasa energi yang kukeluarkan tidak diterimanya dengan penuh. Bukan berarti aku jenuh. Hati nuraniku menyatakan, kenapa aku yang lebih peduli padanya sementara orangtuanya mengandalkan orang lain (baca:guru les). Atau mungkin sangat putus asa menghadapi kekurangan anaknya?
Au jadi ingat semasa aku kecil. Banyak tetangga ku yang Dianggap tak becus belajar oleh orang tuanya diberhentikan dari sekolah, lalu disuruh mencari pekerjaan, misalnya tukang timba air (zaman itu, pompa air mesin belum popular), atau jadi penjaga warung. Tapi untuk Mehdi, setelah 35 tahun lewat dari masa kanak-kanakku, apa harus seperti itu?

Kamis, 07 Februari 2008

Kopi Bi Inah

Kopi Bi Inah
Suasana pagi selalu menjadi bagian yang menjemukan bagiku. Mata terasa berat untuk terbuka dan selalu diliputi kantuk yang sangat membuai. Bagiku, suasana pagi adalah kesibukan, keributan, yang ibarat gundukan tanah yang menggunung dan sulit untuk diratakan kecuali dengan bantuan bulldozer. Begitu sulitnya bagiku untuk bangun pada pagi buta. Tidurku yang terasa nyaman dengan selimut dan AC sangat melenakan. Tak mudah bagiku untuk berkompromi dengan kesibukan yang mau tak mau harus kulalui.
Sudah lama aku berniat untuk berhenti dari tempat kerjaku yang sekarang ini. Rasa lelah yang teramat sangat membuat anak-anakku jadi kurang perhatian. Jika aku terlalu sibuk, bahkan sampai membawa pekerjaan kantor pulang ke rumah, jadwal belajar mereka jadi tidak terkontrol. Namun aku kerjakan juga pekerjaan ini hanya karena lokasinya sangat dekat dengan tempat tinggalku. Lagi pula aku kenal baik dengan pemiliknya. Beruntunglah aku memiliki seorang pembantu yang setia, Bi Inah, begitu aku memanggilnya.
Rutinitas pagiku biasanya berlangsung amat sibuk. Meski dibantu oleh seorang pembantu, tetap saja kepentingan anak-anak memerlukan tenaga ekstraku untuk mengurusnya. Begitu pula aku sendiri yang kadang harus bersiap-siap jika ada tugas presentasi program di beberapa perusahaan.
Seperti pagi itu, hari Senin, awal hari yang sibuk, aku bangun dengan tergopoh-gopoh menuju dapur. Sambil memicingkan mata aku melangkah dengan gontai. Tak sanggup aku membuka jendela lebar-lebar. Udara begitu dingin menggigit. Hujan semalaman turut menambah semilir hawa dingin pagi itu. Aku mengantuk sekali. Tidak biasanya aku bisa bangun sepagi itu.
Hampir saja aku lupa bahwa siang ini pukul sepuluh aku harus melakukan presentasi. Anak sulungku harus berangkat mengaji ke masjid dekat lapangan Blok Mawar, karena ia sekolah siang. Sementara anakku yang kedua harus berangkat pagi, karena ada upacara Senin seperti biasa.
Dua hari yang lalu, begitu bangun tidur, masih kurasakan hangatnya kopi buatan Bi Inah. Aromanya memenuhi seluruh ruangan. Kami sudah terbiasa minum kopi seduhannya bersama suamiku. Bukan kopinya yang nomor satu, tetapi racikannya yang terasa pas. Saat saat itu, hari demi hari kulalui begitu nyaman. Rutinitas pagi bersama suami dan anak-anak, menikmati hidangan yang selalu siap di meja makan setiap pagi, serta pemandangan seluruh ruangan yang bersih dan harum bekas pewangi pel lantai sungguh membuaiku untuk selalu merasa menjadi ratu. Ahh…nikmatnya!
Sembari kujerang air, kuintip pintu kamar Bi Inah yang sedikit terbuka. Aku terpaku memandangi kain kumal bekas mandi Bi Inah yang tergeletak rapi di kasurnya. Kain itu mengingatkan aku pada sosok Bi Inah. Pembantuku yang satu ini hidup menderita selama hampir empat puluh lima tahun usianya.
Aku masih ingat ketika pertama kali kujemput dia dari sebuah yayasan penyalur pembantu rumah tangga di bilangan Cempaka Putih. Tubuh gemuk dan kulit putihnya tertutup oleh kusut dan kumalnya penampilan. Rambutnya ikal dan selalu diikat dengan karet gelang. Jepitan hitam di kanan dan kiri kepalanya tak mampu memberikan kesan rapih. Aku pun merasa agak terkejut ketika terpaksa harus selalu memperlambat tempo bicaraku, dan mengeraskan volume suaraku jika berbicara dengannya. Ternyata dia mengalami kesulitan mendengar, dan setiap perintah yang kuberikan sebelum berangkat ke kantor harus aku ulang beberapa kali dengan harapan ia mampu menangkap dengan sempurna seluruh pesanku pada hari itu.
Pernah suatu hari aku memintanya membeli bumbu dapur dan daging satu kilogram di pasar dekat rumah. Kurang lebih 1 jam aku menunggu, tentu saja membuatku terlambat berangkat ke kantor.
“ Aduh, Bibiii…..lama sekali! Ibu sudah hampir terlambat! “
“Saya bingung, Bu! Tadi muter-muter cari jalan pulang, tapi sama tukang ojek dianter sampe ke Blok Tulip. Akhirnya, Bibi jalan kaki ke sini.” ucap Bibi dengan gemetar.
“Kenapa tidak naik angkot saja, Bi? ‘Kan lebih gampang, pasti melewati jalan rumah kita! Gak sampai sepuluh menit kok!” sahutku kesal.
Tak urung kuberikan saja urutan cara memasak rawon yang sudah kutulis untuknya. Kertas itu diterima. Sambil mengangguk-anggukkan kepala ia membacanya. Meski kelihatan lugu, ia sempat sekolah sampai kelas dua SD. Aku memang khawatir kalau kalau-kalau dia tidak mengerti perkataanku sehingga terpaksa harus mengulanginya beberapa kali. Tentu saja itu akan menyita waktuku.
Tak terasa sudah hampir pukul 07.00. Derit air mendidih di teko menyadarkanku dari lamunan. Kutuang air mendidih ke dalam dua buah cangkir yang sudah kuisi dengan bubuk kopi dan gula. Meski tidak tahu apakah akan seenak racikan buatan Bibi, tapi kupikir pas-pas sajalah. Yang penting begitu suamiku bangun tidur sudah terhidang kopi di meja makan. Susu untuk kedua anakku pun tak lupa kubuatkan. Si bungsu biasa bangun agak siang, karena belum sekolah. Tapi, siapa yang akan membangunkan, membuatkan susu, memandikan, dan menemaninya di rumah? Tak terasa kepalaku mulai berdenyut. Kuhirup kopi panas perlahan-lahan sesendok demi sesendok.
“Amiiiiiiiiiiii, cepaat…! Kalau terlambat kamu sendiri yang akan rugi, bukan Mama!” Panggilku setengah berteriak. Anak sulungku keluar dari kamarnya dan sudah siap dengan seragam mengajinya. Selesai minum susu dan mencium tanganku ia pergi bersama teman mengajinya.
Anak keduaku, Fathya juga demikian. Segelas susu buatanku habis diminumnya. Setelah itu ia segera berangkat begitu mobil jemputannya datang. Suamikupun bangun ketika mendengar teriakanku dan segera mandi.
Jangan bayangkan seorang suami bangun begitu mencium aroma kopi panas di dekatnya, seperti iklan di televisi. Suamiku berbeda, sudah terbiasa ada kopi panas di meja makan begitu ia bangun. Ia tahu bahwa akan selalu begitu setiap pagi. Aku tidak ingin membuatnya cemas karena tidak ada pembantu di rumah. Alih-alih dibantunya, pasti ia akan menyuruhku libur bahkan berhenti bekerja.
Aku tidak mau begitu. Aku tidak ingin menjadi perempuan yang tidak berdaya. (naluri feminisku pun muncul). Lihat nasib Bi Inah, janda beranak empat dari dua kali pernikahan. Kedua pernikahannya berakhir dengan perceraian.
Kata Bi Inah suami pertamanya adalah seorang pemabuk dan penjudi. Ia dikenal sebagai sampah masyarakat. Dengan perangainya yang buruk, tak heran bila Bi Inah menjadi salah satu korban penganiayaannya. Konon, di punggung Bibi terdapat bekas luka jahitan cukup lebar, dan panjangnya sekitar 8 centi. Luka itu adalah bekas bacokan suaminya.
Saat itu, sang suami ingin meminta kalung hasil tabungan Bi Inah untuk berjudi. Bi Inah tentu saja menolak, karena kalung itu murni hasil jerih payahnya membajak sawah milik orang lain. Dalam keadaan kalap dan mulut bau alkohol, ia merampas kalung tersebut dari belakang tengkuknya. Ibarat aksi perampokan, tarik menarikpun terjadi. Ketika Bi Inah hendak lari, punggungnya keburu disambar golok.
Darah segar membasahi dasternya yang terkoyak. Luka menganga di bagian punggung membasahi lantai semen. Si Bibipun ambruk ke lantai dengan tertelungkup dan jemarinya masih meremas kalung di lehernya. Karena tarikan begitu kuat, lehernya bagian depanpun terkena goresan kalung itu. Tak tahan diperlakukan sekejam itu, Si Bibi minta cerai dan melaporkan perbuatan suaminya ke polisi meskipun dalam kedaan gontai dalam pertolongan tetangga menuju puskesmas desa. Entah siapa pula yang mengajarkannya melek hukum.
Selama masa penyembuhan, kedua anak lelakinya yang berusia 6 dan 4 tahun dirawat oleh nenek mereka. Kerentaan membuatnya tak mampu lagi bekerja di sawah milik juragan beras. Sementara itu, sang kakek meninggal sudah cukup lama sewaktu Bi Inah masih berusia 12 tahun.
Dua minggu berlalu, atas bantuan orang-orang di rumah sakit tempat ia dirawat, Si Bibi pun pulang dengan gratis. Saat bertemu kedua anaknya, ia tumpahkan segenap rindu dengan selalu memeluk mereka dalam tidurnya. Setelah tubuhnya sudah dirasa kembali segar dan sehat ia mulai bekerja sebagai penggarap sawah harian untuk menafkahi kehidupannya bersama kedua anak-anaknya.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai penggarap sawah, di sebuah warung ia bertemu seorang lelaki yang mengaku supir bus antar kota. Perkenalan singkatpun terjadi, beberapa bulan kemudian, mereka menikah di hadapan penghulu desa. Biduk rumah tangga yang mereka jalani selama hampir lima tahun membuahkan dua anak perempuan. Namun, dua tahun belakangan, ketika suaminya sudah tidak lagi bekerja akibat dipecat oleh perusahaan ia mulai menunjukkan perangai buruknya.
Sumpah serapah kerap terlontar dari bibirnya setiap hari. Kedua anak tiri dan anak kandungnya acapkali menjadi sasaran kemarahan dan frustasinya. Bukan hanya mulut yang memaki pedas, ia juga menjadi ringan tangan. Benda benda di sekitarnya kerap dilempar atau dipukulkan ke tubuh sang istri, bahkan anaknya.
Sampai di sini aku merasa mual dan ingin muntah. Setiap hari kusaksikan berita kriminal, selalu saja ada kasus kekerasan terhadap perempuan. Kupikir tragedi semacam itu hanya ada di tivi, dari berita-berita kekerasan dalam rumah tangga, ternyata peristiwa pahit serupa itu juga dialami oleh pembantuku. Sedangkan aku mulai merasa bahwa Bi Inah bukan orang lain bagi keluarga kami. Maka emosikupun meluap-luap seolah aku sendiri yang mengalaminya.
“Bibi kapok sama lelaki ‘Bu! Ternyata semua lelaki itu sama, main pukul aja sama istrinya kalau lagi kesal. “ Aku terharu mendengar kisahnya ketika baru tiga hari bekerja di rumahku. Ia bercerita dengan bibir gemetar menahan tangis.
Saat itu aku kurang setuju dengan pendapatnya. Menurutku tidak semua laki-laki seperti yang diceritakannya. Terbukti suamiku adalah lelaki penyabar, humoris dan easy going. Aku merasa aman dan nyaman berada didekatnya. Aku selalu rindukan jika ia belum pulang kerja.
Cerita punya cerita ternyata peristiwa terakhir yang dialaminya mengakibatkan telinga kirinya tidak bisa berfungsi dengan baik. Retak di tulang bahunya menyebabkan ia agak kesulitan untuk menegakkan bahunya secara simetris. Kasihan………..! Hanya itu yang mampu kuucapkan dalam hati.
Seperti dibendung keraguan dan rasa malu. Bi Inah perlahan menceritakan segala pengalaman pahit hidupnya bersama suami keduanya.
“Ampun, Kang, ampun! Jangan pukuli anak-anak, Kang! Pukul saja aku kalau Akang marah!” Begitu jeritnya sambil menarik-narik kaos suaminya dari belakang.
Tanpa sadar ia tak melihat sang suami tengah mengangkat sesuatu dengan tangan kanannya, dan...........plokk!! Sebuah balok besar mendarat di pipi kiri Bi Inah. Terhuyung-huyung ia menahan sakit sambil memegangi pipinya. Belum sampai Si Bibi terjatuh di depan kamar mandi, pukulan kedua mampir di bahu kirinya dengan balok yang sama. Bibi pun pingsan. Darah mengalir dari telinganya. Ia tidak menyadari bahwa keempat anaknya menangis menjerit-jerit melihat ibunya dipukuli seperti itu. Anak lelaki pertamanya yang sudah akil baligh mengambil pisau panjang dari bilik dapur, lalu mengejar bapak tirinya sambil berteriak-teriak.
“Bangsaaat..........!! Sini kalo berani. Jangan lari!! Gua bacok lu!!!” Sambil mengacung-acungkan goloknya. Beberapa bahasa daerah tak jelas digumamkannya.
Melihat anaknya mulai kalap, karuan saja lelaki itu langsung kabur memasuki hutan, dan entah melarikan diri ke mana. Dengan napas terengah engah putra pertama Bi Inah kembali ke rumah, kemudian memanggil para tetangga untuk membawa sang Ibu ke Puskesmas.
Lagi-lagi si bibi dirawat di Puskesmas. Perawatan di Puskesmas itu adalah akibat perlakuan kejam suaminya yang ke dua. Ketiadaan ruangan yang memadai, sementara kebutuhan pasien semakin banyak, si Bibipun dipindahkan ke rumah seorang dokter. 3 minggu lamanya ia di rumah dokter dalam perawatan. Sementara ia tak tahu sama sekali nasib anak-anaknya. Siapa yang akan memberi mereka makan? Adiknya sudah lama bekerja di Jakarta, dan belum berkirim kabar sama sekali. Begitulah kisah tragis Bi Inah.
Dengan segala ketulusan aku memperlakukannya seperti layaknya keluarga sendiri. Keempat anak-anaknya selalu dikiriminya uang gaji secara rutin melalui salah seorang adik lelakinya yang bekerja di pabrik konveksi. Setahun sekali si Bibi pulang untuk berlebaran di kampungnya.
Sepanjang 5 tahun ini Bi Inah begitu setia melayani keluargaku. Ketika aku ingin menambah satu lagi pembantu untuk meringankan bebannya, ia menolak. Alasannya karena ia lebih puas bekerja sendiri. Aku tahu bahwa ia sangat sempurna dalam urusan kebersihan. Bahkan akupun tidak berani mengotori semua yang sudah dibersihkan dan ditatanya.
Kupikir, berat juga pekerjaannya karena rumahku begitu besar. Kami tidak pernah menyuruhnya untuk membersihkan seluruh ruangan setiap hari. Tapi dasar si Bibi, yang memang tidak pernah mau diam. Seluruhnya ia kerjakan sendirian. Seandainya saja dia bisa seterusnya bekerja di rumahku…..!
Dua hari yang lalu Bi Inah mendapat telepon dari adiknya, mengabarkan bahwa anaknya yang ketiga dan yang bungsu dibawa oleh bapaknya. Malam itu kulihat Bi Inah gelisah dan melamun. Aku menduga ada sesuatu yang dipikirkannya, sama seperti ketika ia minta izin padaku untuk membawa pulang baju dan tas bekas anak-anakku yang sudah tidak dipakai lagi. Namun malam itu ia terlihat jauh lebih gelisah dari biasanya.
“ Bibi kelihatannya gelisah? Ada apa? Kan kemarin sudah kirim uang ke kampung?” Aku terpaksa bertanya. Aku paling takut jika ia pulang kampung.
“ Bu………anak Bibi yang ketiga dan yang bungsu diambil Bapaknya. Sedangkan Bibi nggak tahu dia tinggal di mana? Perasaan Bibi jadi nggak enak.” Digigitnya bibirnya. Hidungnya memerah karena menahan airmata kesedihan. Jika begitu ekspresinya, berarti ini masalah serius. Kupikir-pikir anak ke tiganya pastilah sudah berusia belasan. Anak seumur itu pastilah bisa menjaga dirinya.
“ Bibi dengar dari adik Bibi, bapaknya anak-anak suka menjual perempuan ke Batam. Bibi takut anak Bibi dijual juga ‘Bu……..!” Ia mulai menangis.
Aku tidak tahan. Perutku langsung mulas bukan main. Betapa biadabnya lelaki itu! Tega menjual anak gadisnya yang masih dibawah umur. Itu kalau dugaan si Bibi benar. Yang aku tahu, penjualan ABG oleh orang tua kandungnya sendiri hanya marak di Thailand, negeri yang pernah kukunjungi 1 kali pada tahun lalu.
Aku bingung dengan persoalan yang menimpa Bibi. Ingin rasanya semua itu kulaporkan saja ke polisi. Tapi aku merasa malas mengurusnya. Lagipula aku tidak tahu detil persoalannya. Dengar-dengar polisipun malas menangkap orang-orang macam ini. Biasanya yang rela menyelidiki kasus-kasus begini adalah LSM. Apalagi ini menyangkut anak kandung, orang miskin pula yang tidak mungkin bisa mengeluarkan ongkos untuk sekedar biaya mencari jejak lelaki gombal itu.
Malam itu kuajak suamiku berdiskusi tentang apa yang harus kulakukan. Terus terang itu menyangkut ritme mobilitas keluarga yang pasti akan berubah jika Bi Inah pergi.
Akhirnya pagi itu kuantarkan Bibi ke terminal bus Pulo Gadung untuk pulang ke kampungnya daerah sekitar Pelabuhan Ratu. Kubiarkan ia mencari jalan sendiri mengatasi persoalan itu. Karena dugaan Bibi belum tentu benar, ada baiknya mengecek dulu, baru kemudian lapor polisi. Itu menurutku.
Satu hal yang aku pesankan padanya adalah, jangan pernah mau lagi disakiti oleh laki-laki siapapun juga (meski yang aku tahu ia kapok menikah lagi). Tapi aku memang tidak suka kekerasan dalam rumah tangga atau dominasi kaum pria di berbagai bidang.
Malam itu kulalui dengan sunyi. Tak terdengar suara tivi dikamar Bi Inah seperti biasa. Anak-anak sedang belajar di kamar masing-masing. Si bungsu tidur sejak tadi setelah aku menemaninya bermain. Tatapan mataku kosong menonton berita kriminal di tivi.
Ketika aku pindah channel, kusaksikan berita penangkapan seorang laki-laki yang kedapatan menjual wanita dibawah umur. Dua ABG yang diwawancarai oleh reporter mengaku sebagai anak kandungnya dan berasal dari Sukabumi. Seperti biasa, wajahnya disamarkan tehnik kamera. Hanya suaranya yang terdengar gugup, gemetar dan tertekan. Lelaki yang dipanggilnya bapak itu duduk terpaku di depan meja polisi dan mungkin beberapa reserse yang mengelilinginya. Mukanya lebar, tiap bagianpun besar-besar, hidung, kelopak mata, bibir dan pipinya penuh bopeng besar, hitam dan menyeramkan dengan brewok yang tak tercukur rapi. Pergelangan tangannya penuh dengan tato.
Dadaku bergemuruh menyaksikan tampang lelaki itu. Ingin aku berada di areal penangkapan itu dan memukulkan tanganku ke wajah jeleknya, tapi tidak mungkin. Firasatku mengatakan bahwa dia lah yang telah membawa kabur anak –anak si Bibi. Anak yang diwawancarai itupun adalah anak si Bibi.
Aku berlari menuju kamar tidurku seraya mengatakan pada suamiku bahwa bekas suami Inah sudah ditangkap polisi. Dengan mulut gemetar karena menahan geram kusampaikan bahwa aku tahu dari tayangan tivi. Tak sadar air mataku menetes dan aku menangis di pelukan suamiku.
Meski aku tidak pernah yakin bagaimana tampang lelaki biadab itu dan kedua anak gadis si Bibi, tapi aku merasa polisi sudah menangkap orang yang aku benci, yang membuat telinga Bi Inah agak tuli., dan bahunya menjadi tidak simetris lagi. Lelaki seperti itu memang pantas diberi hukuman mati. Aku tertidur setelah membayangkan Bi Inah kembali kerumah ini dengan wajah cerianya dan kopi racikannya yang paling enak di seluruh dunia…..

Bogor, Pk. 23. 56
10 Mei 2005