Sabtu, 12 Januari 2008

Gadis cilik itu bernama Roslina

Sore itu langit mendung. Awan hitam bergulung tebal ditingkahi suara gemuruh petir. Aku tahu sejak pagi bahwa sore ini akan turun hujan. Cuaca memang kurang bersahabat dibulan November. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Apalagi di wilayah Bogor, setiap sore selalu turun hujan. Kadang deras, kadang gerimis kadang lebih deras dari sekedar gerimis tetapi tidak berhenti tercurah walaupun sekedar semenit.
Tak seperti biasanya, yang kucemaskan adalah sosok gadis cilik yang berada di hadapanku. Rambutnya panjang lurus sepunggung. Tidak begitu lebat, tetapi cukup membuatnya terlihat lebih cantik. Bertubuh langsing dan berkulit kuning langsat. Aku khawatir ia akan pulang kehujanan dijemput pengasuhnya dengan bersepeda. Meski rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku, tapi aku takut ia sakit dan tidak masuk sekolah.
Dua hari sekali gadis itu datang ke rumahku untuk belajar privat pelajaran sekolahnya. Tahun lalu ia adalah murid tinggal kelas dikelas dua. Di bawah didikanku ia tetap tak meningkat prestasinya. Memang aku tidak tahu keadaannya di kelas satu. Gadis cilikk berusia 8 tahun itu adalah murid pindahan dari sekolah lain. Ia memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata berdasarkan hasil tes psikolog. Betapa tidak! Pelajaran di kelas dua SD saat ini memang terlalu sulit untuk diserap dengan kemampuan berpikirnya yang masih setaraf sedikit diatas usia TK.
Sekilas anak itu normal, dalam bergaul, bercakap-cakap, bermain dan berinteraksi secara fisik dengan teman-temanny. Tetapi sayangnya ia kurang dapat menyerap pelajaran sesuai kecepatan rata-rata intelegensi normal anak seusianya. Metode apapun yang kugunakan, dari yang fun hingga yang serius, sulit sekali memasukkan pemahaman diotaknya.
Ia hanya bisa tersenyum dan sesekali menatap kosong apabila aku menjelaskan atau menanyakan sesuatu padanya. Baik mengenai isi bacaan, maupun menggunakan alat peraga secara langsung. Kadang ia hanya memelintiri pensilnya, atau memegang penghapus sambil mengetuk-ngetuk meja atau menggerak-gerakkan kakinya.
Sering aku memegang kedua pipinya untuk menghadapkan wajahnya padaku, dan melakukan kontak mata. Duduknya tak pernah bisa diam. Dari yang semula tegak, setengah tegak, turun ke lantai, setengah berbaring, naik lagi ke kursi, atau menyandarkan kepalanya santai. Tatapan matanya normal, bukan anak penderita DS ataupun idiot. Kasihan............hanya itu yang mampu terucap dibatinku.
Paling-paling ia menjawab
“Mmmm...........apa ya?” atau “Mmm.........maksudnya, Miss?” Itu ucapnya (aku biasa dipanggil Miss atau Mam oleh murid-muridku). Meskipun aku hanya menanyakan atau menjelaskan hal-hal yang sangat sederhana.
“Lihat ya! Ibu sedang merawat tanaman. Apa yang Ibu lakukan ini, nak?” Aku menjelaskan itu sambil menyemprot tanaman di halaman rumahku pada suatu hari.
“Mrs. Weni sedang menyiram tanaman!” Jawabnya sambil mengulum senyum. Tatapan matanya tetap kosong.
“Ya! Bagus! Berarti cara merawat tanaman adalah dengan...............”
“Merawat tanaman!” Jawabnya yakin. Kukernyitkan alis, menahan emosi keputusasaan dalam hati. Tiga kali kujelaskan hal yang sama dengan beberapa penjelasan tambahan. Barulah ia paham dan berbalik memberi penjelasan padaku.
“Oh iya. Cara merawat tanaman adalah dengan menyiram tanaman, dan memberi pupuk Miss! Supaya tumbuh su...bur!” Aku mendengarkan tersenyum.
“Bagus. Kamu pintar sekarang” Komentarku. Sepuluh menit kemudian ketika kuulangi pertanyaan yang sama ia lupa lagi. Adegan tadi adalah salah satu dari ratusan interaksiku dengannya tentang berbagai hal yang menyangkut materi pelajaran. Pernah pula suatu kali aku menjelaskan begini.
“ Coba lihat! Ibu sedang apa ya?”
“ Mmm.....Mrs. Weni nyapu!” Jawabnya
“ Iya betul! Lihat! Alat apa yang Mrs. Weni pakai?” Tanyaku. Sebenarnya aku sedang mengajarkan materi tentang cara membersihkan lingkungan dan alat-alat kebersihan.
“ Mrs. Weni pakai................mmmm.........menyapu halaman!” Ia terkekeh.
“Sayang, Mrs. Weni memakai sapu untuk menyapu atau membersihkan halaman. SAPU adalah alat kebersihan.”
“ Oooo.........aku tahu! Sapu adalah alat kebersihan.”
“ Iya. Good! Lalu....alat apa yang Mrs. Weni gunakan untuk mengepel lantai?” Kali itu aku tidak mengambil alat peraga lagi dan memperagakannya. Tentu saja tidak!
“ Yaitu.............mengepel lantai!” Jawabnya. Sungguh aneh! Aku menghela nafas menahan emosi.
“ Sayang.......ALAT adalah BENDA yang kita gunakan untuk kegiatan ke-ber-si-han........! Maksudnya untuk membersihkan rumah atau lingkungan kita! ” Kataku dengan nada sedikit tinggi. Rasanya capek juga kalau harus selalu memperagakan cara membersihkan rumah setiap kali menjelaskan materi tentang itu. Sedangkan rumahku sudah bersih ditangan pembantu. Masakan aku harus menaburi sampah lagi untuk membuktikan bahwa alat-alat itu ampuh untuk membersihkan kotoran? Oke, itu satu mata pelajaran. Saat lain lagi ketika menjelaskan tentang cara memelihara dokumen. Kukeluarkan satu bundle dokumen milikku dari lemari.
“ Nah, beginilah cara memelihara dokumen. Lihat! Semuanya disimpan di sini, sayang. Ini namanya Map atau fol.......der! Agar tidak hilang, tidak robek dan mudah mencarinya. Ada ijazah, ada rapot, ada piagam, ada akte kelahiran, ada kartu keluarga, surat pajak, dan lain-lainnya.” Kujelaskan itu sambil membolak balik plastic bantex di folderku. Ia melihat-lihat dengan serius, mengamati pas fotoku, pasfoto suamiku, dan anak-anakku. Tidak ada ekspresi bahwa ia mengerti apa yang kumaksud. Ia hanya mengamati foto-foto!
“Jadi...........Mengapa kita harus menyimpan dokumen dengan rapi?” Tanyaku
“Mmm...........karena supaya rapi, Miss. Harus disimpan!” Jawabnya.
Tetap saja ia tidak mengerti pertanyaanku. Sama sekali tidak nyambung.
Tahun lalu kukonsultasikan masalah ini pada Psikolog sekolah. Beberapa tes psikologi sudah dilakukan, termasuk serangkaian wawancara dengannya, dengan neneknya (orang tuanya bercerai) dan guru-guru yang mengajarkannya berbagai bidang studi. Hasilnya adalah: keterbatasan kemampuan berpikir, intelegensi diambang batas bawah rata-rata. Sikap ragu-ragu dalam menyelesaikan tugas, sikap putus asa karena ia mengerti bahwa ia tidak mampu memahami materi, pun ia tidak tahu apalagi yang harus diperbuatnya agar membuatnya mengerti. Memberi penjelasan harus dengan benda kongkrit dan berulang-ulang.
Akhirnya aku dan rekan-rekan guruku hanya mengangguk-angguk mengerti. Meski tak semua guru dapat menerima murid dengan keterbatasan berpikir semacam itu masuk dalam wilayah didikannya. Terkecuali tentu saja guru dengan pendidikan khusus. Dengan keadaannya itu aku maklum kadang bisa membuat orang lain emosi dan cenderung membentak-bentak. Makin dibentak, makin gugup ia dan terkadang tak sengaja mengompol. Sistim limbic otak tidak terbuka untuk menerima pelajaran dengan cara seperti itu. Aku memaklumi perasaan guru yang kehilangan kesabaran menangani anak-anak semacam itu. Para guru teman-temanku juga dituntut untuk memberikan materi yang harus dikuasai oleh anak kelas dua. Aku maklum. Sungguh, aku maklum!
Sedangkan aku disarankan oleh psikolog untuk melatih cara belajarnya dengan memberinya bacaan-bacaan yang terdiri dari paragraf pendek, dan kemudian berdiskusi dengannya tentang isi bacaan, untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Itupun sudah kulakukan. Bahkan kadang baris demi baris aku berhenti untuk sekedar menanyakan padanya tentang maksud kalimat yang barusan ia baca.
Tapi entah usahaku kurang intensif atau apa,, sulit sekali mensejajarkan ketuntasan belajarnya dengan muatan materi sesuai kurikulum. Rasanya saling berkejaran dan tak mampu melaluinya. Aku menangis pada saat aku selesai mengajarkannya secara pribadi. Ya Allah...................apa yang harus kulakukan,? Ia adalah mu’allaf, keluarga mu’allaf, meski belum sepenuhnya mengikuti ajaran agama, tapi aku merasa anak itu harus diselamatkan, paling tidak lewat sekolah Islam. Selama ini neneknyalah yang sering berkomunikasi dengan kami. Psikolog menceritakan padaku tentang riwayat kelahirannya berdasarkan tuturan kisah dari neneknya yang biasa dipanggilnya MAMI.
ROSLINA LEONORD nama anak itu. Biasa dipanggil dengan pengucapan ROS. Tadinya adalah seonggok janin yang tidak diharapkan tertanam dalam rahim seorang wanita belia berdarah Menado. Bertubuh mungil, berwajah cantik, dan berkulit putih. Reaksi wajahnya begitu masam setiap kali kuceritakan tentang kasus Ros. Seolah ia tak peduli akan anak itu. (Aku berbicara dengannya satu kali ketika ia datang padaku bersama Mami untuk berkonsultasi, yang semula kukira kakaknya). Ros adalah buah perbuatan diluar nikah. Menjelang usia 4 bulan dikandungan, barulah sang ibu menikah dengan laki-laki yang menghamilinya.
Selang dua bulan kemudian laki-laki tersebut meninggalkannya, tanpa rasa tanggung jawab sedikitpun. Rasa putus asa menghantui sang Ibu. Dunia terasa gelap baginya. Bayangan ketakutan melahirkan anak tanpa didampingi suami yang mengasihinya membuatnya depresi. Semakin hari kebencian pada suaminya meluap tanpa batas. Ingin rasanya ia bunuh bayi dalam kandungannya. Setiap malam ia menangis. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kadang ia ingin bunuh diri. Kehidupan malam dilaluinya tanpa risih dengan perutnya yang makin membuncit. Tak dipedulikannya kesehatan sang jabang bayi bahkan kesehatannya sendiri. Rokok, alkohol dan barang harampun ia konsumsi. Ketergantungannya amat besar pada narkoba meski hanya membuatnya lupa sesaat akan beban. Sebenarnya ia tidak lupa, tetapi ia memang mencari jalan agar sang jabang bayi segera mati sebelum dilahirkan. Segala macam obat penggugur kandungan ia konsumsi.
Masya Allah..............aku merinding mendengar cerita itu. Tak sadar mataku berkaca-kaca. Perlahan aku mulai menangis. Ya Allah.......... keterlibatanku secara emosional begitu dalam untuk kasus anak itu. Betapa malangnya dia.............!
Hanya Allah yang memiliki segala kekuasaan. Si jabang bayi tersebut tetap aman dan kokoh ditempatnya meski si ibu berusaha mencari jalan untuk membuatnya mati. Saatnyapun tiba. Ia lahir dengan selamat meski dengan berat badan kurang. Sang ayah tidak mendampingi. Ibu muda itu menangis sejadi-jadinya. Setengah menyesali mengapa si bayi masih hidup juga. Sejak itu ia tidak mau mengasuhnya. Bahkan melihatnyapun ia enggan.
Rasa benci demikian kuat tertanam, jika ia melihat raut wajah anaknya. Konon menurut sang MAMI gadis cantik itu wajahnya mirip sang ayah. Akhirnya si neneklah yang turun tangan. Ia rawat bayi itu dengan tulus seperti anak sendiri. Sang Ibu pergi jauh ke kota lain untuk melanjutkan hidupnya dan mencari pekerjaan. Si anak tumbuh dan berkembang dalam pengasuhan nenek yang memiliki rasa sayang biasanya lebih dari anak sendiri. Saat masih usia beberapa bulan, Raquel pernah sakit agak parah. Ia di rawat di rumah sakit beberapa minggu.
Menurut si nenek, dokter menyatakan bahwa Raquel adalah korban Narkoba yang dikonsumsi Ibunya selama masa kehamilan. Hal itu mengakibatkan beberapa syarafnya tidak bisa berfungsi normal atau mengalami kerusakan.
Begitulah cerita yang kuhimpun dari Psikolog dan Maminya. Dalam pengasuhan Mami, Ros praktis tidak begitu merindukan kehadiran sosok ibu. Pernah suatu kali ketika berkunjung, Mamanya mengajak menginap di rumahnya hanya semalam atau beberapa hari. Ia tidak mau.
“Aku mau sama Mami aja! Habis Mama gak sayang aku. Mama jahat! Masa’ aku minta peluk aja didorong!” Si Mami menghela nafas. Pernah Ros menceritakan padaku bahwa Mamanya bilang,
”Sana, sana ah! Jangan dekat-dekat! Mama gerah!” Ketika ia ingin menggelayut manja. Ketika kutanyakan padanya tentang Papanya, ia menjawab,
“ Gak tau. Papa gak sayang aku. Janji-janji terus katanya mau ajak aku jalan-jalan. Tapi kalo aku telpon, aku dimarahin! Aku suka kangen sama Papa. Kok teman-temanku ada papanya, aku gak ada papanya! “ Dengan bahasa polos ia ungkapkan itu padaku. Kubelai kepalanya yang berkerudung.
“Mungkin Papa Raquel sibuk. Mama juga sibuk. Tapi kan ada Mami!” Ujarku.
“Iya sih. Gak papa. Tapi Miss..........jangan bilang siapa-siapa ya!” Katanya.
“Iya. Mrs Weni sayang Ros koq. Makanya Ros harus rajin belajar, sayang! ” Kataku.
“Tapi kok aku gak bisa-bisa Miss......? Atau mungkin aku bodoh ya?” Katanya lagi. Tatapan matanya polos, bibirnya menyungging senyum tanpa dosa.
“ Sayang........Tidak ada manusia yang bodoh. Yang ada hanya orang yang tidak mau belajar. Kalau kamu rajin belajar, kamu pasti pintar” Jawabku.
“ Tapi..............kok aku gak bisa-bisa ya....?” dengan tatapan kosong sambil memelintiri pensilnya ia bertanya pada dirinya. Berharap aku mengiyakan pertanyaan itu.
“Ros bisa! Ayo, kita coba lagi! Kita belajar, yuk. Coba baca ini lagi sayang....! Habis ini kamu boleh makan es krim. “ Pembantunya mensyaratkan padaku agar mengatakan begitu sesuai pesan Maminya. Es krim yang dititipkannya kusimpan di lemari esku.
Pernah suatu hari aku memberi tugas untuk pelajaran Bahasa Indonesia, menjawab pertanyaan dari bacaan pendek. Diantara pertanyaan itu adalah:
“Apa yang terjadi pada penjual bakso jika turun hujan?” ditulis di buku.
“Waktu itu aku main petak umpet sama temen-temenku. Terus aku dikata-katain..........(tak jelas maksudnya). Eh, aku pulang. Tapi besok aku gak mau terlambat lagi. Soalnya aku takut bodoh. Bisa gak yah, aku jadi anak pintar? Pasti bisa, karena aku akan rajin belajar” Tulisnya. Tak jelas jawaban dari pertanyaan yang dimaksud. Suatu peristiwa lagi ketika praktek Sains, tentang sifat benda.
“ Coba kita lihat. Air ini dituang ke gelas. Bentuknya seperti apa? “
“ Seperti.............air.”
“Tidak Ros. Seperti gelas. Tapi isinya memang tetap air. Seperti apa?”
“Seperti gelas.”
“Nah, sekarang coba kamu tuang ke botol. Nah, seperti apa bentuknya?”
“Seperti botol”
“Bagus. Jadi, bentuk air berubah atau tidak?”
“Tidak. Mmm.....tetap seperti air.” Kuulang-ulang beberapa kali barulah ia menjawab sesuai yang diharapkan.
“Coba sekarang jawab pertanyaan Mrs. Weni ya? Sebutkan benda cair lainnya selain air!” Lanjutku.
“Pensil!” Jawabnya tersenyum. Tidak merasa bahwa jawabannya salah.
Dengan rasa prihatin kutarik napas dalam-dalam. Butuh waktu berjam-jam untuk memasukkan satu materi dalam pikirannya.
Bagaimana dengan Matematika? Penjelasan bisa dengan permainan dan benda kongkrit. Berulang-ulang kujelaskan tentang konsep ratusan, puluhan dan satuan dengan benda kongkrit. Ketika diberikan soal di buku tulis, kembali aku harus menahan emosi karena apa yang kuperbuat tidak berhasil membuatnya mengerti bagaimana cara menyelesaikan soal-soal tersebut. Apalagi konsep perkalian. Aku gemas tentu saja!
Beruntunglah aku pada waktu itu, karena Maminya justru memaklumi kalau ia tidak memenuhi syarat untuk naik kelas, karena khawatir bebannya akan bertambah banyak. Maminya rela jika Ros harus mengulang kelas dua. Ternyata akulah guru les yang dianggapnya cocok untuk mengajar secara individu. Meskipun dulunya aku adalah guru kelasnya. Ia tidak naik kelas ditanganku, tapi masih ingin melanjutkan les denganku, meski aku sudah tidak lagi memegang kelasnya. Aku terharu menyambut permintaan anak itu.
Setelah selesai belajar Bahasa Indonesia disore yang mendung itu, pesan pendek kukirimkan pada Maminya bahwa ia boleh dijemput sekarang. Kubilang
“ Ros.......di rumah juga harus dibaca bukunya ya! Kan kamu sudah pintar membaca dan menulis. Bacanya berulang-ulang supaya kamu mengerti betul. Nanti kalau Ulangan Semester, Mrs. Weni tidak bisa lagi membantu. Kamu harus menjawab sendiri ya.”
“Iya. Aku mau les lagi sama Mrs. Weni ya. Tapi aku boleh main dulu sama Ninit (anakku). Ninit gak pernah jahatin aku” Katanya sebelum keluar pintu.
“Oke deh........boleh main habis itu belajar ya!” Jawabku. Pembantu yang setia itu sungguh sabar. Sejak tahun lalu sampai sekarang ialah yang rajin mengantar dan menjemputnya. Ia rajin berkomunikasi denganku tentang pelajaran Ros. Akupun jadi bersimpati dan selalu mengingatkan jika Ros akan ulangan. (Kebetulan gadis cilik itu sekarang satu kelas dengan anakku)
Sering saat ia belajar dan melihat anakku mondar-mandir bermain dengan tetangga sekitarku ia merasa iri.
“Miss...............kok Ninit gak disuruh belajar?” Tanyanya.
“ Ninit belajarnya malam, sayang.” Jawabku. Padahal sebenarnya anakku belajar cukup mandiri. Jika ada PR aku cukup duduk disampingnya sambil membaca buku atau mengerjakan apa saja. Jika merasa kesulitan barulah ia bertanya.
Aku mengajarnya privat bukanlah karena ingin mendapatkan uang tambahan. Jika ditambah dengan kelelahan emosiku saat mengajarinya, tentunya itu tak sebanding. Namun aku merasa kasihan akan kemauan belajarnya yang tinggi dan keterlibatan Maminya untuk berkomunikasi denganku. Jika keinginannya tak kusambut dengan baik, siapa lagi yang cukup mengenalnya dan dirasakan aman baginya?
Untunglah berangsur-angsur sang mama mulai menunjukkan rasa sayangnya pada Ros. Meski tidak mengharapkan kehadiran sosok suami dan ayah kandung gadis cilik itu, setidaknya ia mulai merasa bahwa keadaan anak itu disebabkan ulahnya sendiri saat anak itu masih dikandungnya.
Sekarang, menurut gadis cilik itu, ia punya papa kedua yang lebih baik dan lebih menyayanginya. Mamanya menikah lagi. Aku bersyukur dalam hati, semoga anak itu mendapat kasih sayang utuh dan kehangatan sebuah keluarga. Barusan Ros bilang ia ingin punya adik, tapi perut mamanya belum gendut-gendut. Aku tertawa mendengarnya. Kuucap syukur akan perasaannya yang bahagia. Semoga itu memberi pengaruh cukup baik bagi peningkatan kecerdasannya dimasa datang. Bagaimanapun ia adalah calon generasi muslim yang kita tak pernah dapat menduga kelak akan menjadi apa. Amin, ya Allah.