Jumat, 08 Februari 2008

Si Ganteng Mehdi

Oh, si ganteng yang malang
Siang itu udara cukup panas di luar. Tapi di kelasku terasa sejuk karena berpendingin udara. Anak-anak kelasku berhamburan keluar setelah selesai berdoa dan berpamitan. Seperti biasanya aku menunggui mereka memasang sepatu satu persatu. Anak-anak itu lucu-lucu. Dengan tas berat di punggung, mereka berjongkok atau kadang duduk di lantai memasang sepatu. Beberapa anak yang mengalami kesulitan aku bantu memasangkan kancing sepatunya. Beberapa orang tua murid menunggui anak-anak mereka sambil membawakan tas sekolah mereka. Ada juga pembantu yang biasa mengantar dan menjemput sambil memegangi payung. Sambil tersenyum aku membalas salam mereka.
Jadwalku pada hari itu, Selasa, adalah memberikan remedial pada murid-muridku yang mengalami kesulitan belajar dalam proses sehari-hari. Dua sampai empat anak kukumpulkan. Pada umumnya mereka merasa senang karena bisa bermain lebih lama di sekolah. Tapi ada satu murid laki-laki yang sangat ingin kabur dari jadwal hari itu. Aku mencarinya ke aula, ke toilet atau di bawah tangga tempat wudhu. Aku sering memergokinya berdiri di situ sambil menghisap jarinya. Kadang alasannya ingin buang air kecil sambil berpura-pura kebelet, dengan menhimpitkan rapat-rapat kedua belah kakinya. Mungkin kebelet betul, tetapi ketika lama kutunggu tidak kembali, pastilah aku mencarinya ke mana-mana. Ia adalah salah satu tanggung jawabku.
Seperti siang itu, aku mendapatinya bersembunyi di balik pepohonan. Ah!
“Mehdi.........! Kamu sedang apa di situ? Ayo masuk, sayang. “ Panggilku.
“Mehdi mau pulang aja, Miss! Kata Umi, Mehdi disuruh pulang, soalnya di
rumah gak ada orang, nanti gak ada yang jemput. Kata Umi, Mehdi disuruh belajar di rumah aja!” Ah, penjelasan yang berbeli-belit.
Aku tahu ia berbohong seperti biasanya. Sering ketika aku menelpon Uminya, ia terheran-heran dengan kebohongan yang diucapkan anaknya. Itu kalau Uminya bisa kuhubungi. Kadang telpon genggamnya tidak diangkat, kadang tidak aktif. Si Umi pun jarang menelpon kembali. Seolah semua tentang anaknya baik-baik saja. Ataukah ia merasa sudah menyerahkannya pada sekolah semua tanggung jawab untuk mendidiknya?
Dulu ketika ia di kelas satu, sulit sekali melatihnya belajar membaca dan menulis. Aku tahu dari guru kelasnya. Bahkan aku melihatnya sendiri, tak pernah ada tugas yang mampu ia selesaikan. Sepanjang waktu ia mengerjakannya, harus selalu didampingi guru kelas sampai selesai dan dituntun menulis huruf dan mengejanya satu persatu. Itupun belum berhasil sesuai harapan.
Dengan kurikulum saat ini yang tidak seperti zaman ketika aku masih anak-anak tentulah kegiatan belajar mengajar dan muatan materi jauh lebih berat bagi anak usia 6-7 tahunan. Adalah kebijakan sekolah ketika ia harus naik ke kelas dua, meski belum bisa membaca, menulis, berhitung atau memahami materi secara normal. Di kelas dua, akulah guru kelasnya. Dari situ aku tahu bahwa kemampuannya tak lebih baik dari anak usia TK B.
Ketika aku menerangkan pelajaran, aku sangat memahami bahwa ia tidak mendengarnya, tidak konsentrasi, atau bahkan sering tidak membawa buku pelajaran. Buku tulisnya hanya satu dan isinya kosong. Hanya satu dua lembar terisi itupun tidak jelas tulisannya.

Jika aku memberinya tugas dan tidak terselesaikan pada jamnya, kujadikan PR. Tetapi buku penghubungnya hampir tidak pernah dibaca oleh orang tuanya.
Salah seorang temanku pernah menjadi guru les keluarga itu. Ia mengeluhkan tentang cara Uminya menyuruhnya belajar atau mengerjakan PR. Dengan mata kepala sendiri ia melihat anak tersebut digebuki dengan benda apapun yang terjangkau oleh tangan Umi. Diakui oleh temanku bahwa sang Umi luar biasa keras dan menggunakan kekerasan dalam mendidik anak-anak mereka yang semuanya laki-laki. Muridku ini adalah anak kedua dari tiga bersaudara itu. Temanku saat itu menjadi guru les bagi kakaknya yang sulung ketika masih duduk dikelas satu SD. Pernah suatu kali temanku melihat sang Umi menggebuki mereka dengan sajadah sekeras-kerasnya. Pernah pula dilihatnya sang anak berlarian menghindari raket setruman nyamuk yang ketika dipukulkan pada si anak pasti dipencet tombolnya sehingga menimbulkan kilatan-kilatan setrum kecil pada tubuhnya. Belum teriakan-teriakan yang memekakkan telinga temanku. Saat itu temanku kebetulan sedang hamil anak pertamanya dan membatin :”Na’uzhubillaahiminzalik...........”
Aku sering mendengar keluhan keluhan temanku itu yang merasa kurang nyaman dengan suasana ribut dan teriakan. Apalagi anak-anak tersebut cenderung berlarian kesana-kemari ketika dikejar oleh sang Umi dengan mengacung-acungkan sapu lidi atau sapu ijuk. Temanku cuma bisa mengelus dada. Itu satu kisah dari temanku yang pada akhirnya tidak mau lagi memberi les di sana.
Seorang kerabatnya yang kebetulan juga temanku pernah menceritakan hal yang sama. Tak pernah ada pembantu yang betah bekerja di rumah itu. Anak-anak mereka sering biru-biru oleh cubitan Uminya. Masya Allah.......! Aku hanya berpikir bagaimana mungkin terjadi kekerasan orang tua terhadap anak-anaknya sendiri? Saat itu aku belum mengenal keluarga itu. Baru dua tahun setelah itu aku mengajar anak keduanya dikelas dua. Kuamati perilaku Mehdi sehari-hari yang amat tidak perhatian dan tidak memahami hampir seluruh penjelasanku bahkan tentang hal-hal sederhana dan ringan sekalipun.
Satu saat yang masih lekat dalam ingatanku ketika ia kuberi tugas membaca karangan pendek hanya dua paragraph berjudul Ani Merawat Kebun. Ia harus mengeja satu persatu setiap huruf dan baru merangkaikannya. Jika selesai membaca satu kalimat, aku menyuruhnya mengulang lagi, untuk membantunya memahami setiap kata dan keseluruhan kalimat. Diulanginya lagi namun tetap dengan cara yang sama lambatnya. Oh, my God!
Aku menghubungi orang tuanya untuk menemuiku dan membicarakan kesulitan membaca dan menulisnya. Kusarankan ia untuk mengikuti kursus membaca dan menulis yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Kuberikan alamatnya dengan jelas, agar ia segera mendaftar. Berminggu-minggu kemudian barulah itu terlaksana. Ketika itu aku dalam keadaan panik karena akan Ulangan Semester. Dalam kurun waktu tersebut bocah ganteng tersebut menyatakan tidak mau ikut jadwal remedial karena akan kursus membaca dan menulis di sore harinya. Aku tidak memaksa. Berbagai alasan ia kemukakan. Kuhubungi Uminya (aku takut ia berbohong). Tidak ada yang menjawab telponku.
Ketika jadwal Ulangan Semester menjelang 1 minggu lagi, kupaksa Mehdi ikut Remedial dan Uminya pun gencar menghubungiku. Tapi apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya berhasil hanya dalam waktu sesingkat itu? Menulispun ia belum lancar!
Suatu saat ketika ia kuajarkan Matematika tentang berhitung sampai jumlah ratusan ia mengalami kesulitan. Kuberikan 5 soal, namun ia hanya mampu menjawab satu soal dalam waktu 1 jam. Padahal itu dikerjakan dengan cara bersusun ke bawah.
“ Masya Allah Mehdi.........Ini kan pakai cara meminjam dan menyimpan? Masa kamu lupa? Ini pelajaran kelas satu!” Kataku
“Oh iya. Ini tidak bisa dikurangi. Berarti meminjam ya Bu?” Sahutnya tersenyum-senyum. Kasihan. Anak itu lugu dan sama sekali tidak menyadari bahwa aku terheran-heran ia tidak bisa menyelesaikannya. Kuperiksa hasilnya masih salah.
“ Ini kan sudah dipinjam. Seharusnya sudah berkurang dong, kok masih tetap? Coba hitung lagi. Kamu kan pintar!” Kuhapus angka yang salah itu. Itu baru satu soal.
“Oh, iya! Mmmm.......” Katanya sambil mengulum pensilnya yang segera saja aku tarik. Hal itu sering dilakukannya ketika sudah makin bosan dan putus asa.
Dalam menghadapi mata pelajaran lain seperti melakukan kegiatan kelompok, praktikum sederhana misalnya, tetap saja ia tidak tanggap terhadap kegiatan yang dilakukannya. Ia hanya ikut berjalan kesana kemari dan bermain air. (Saat itu praktikum tentang sifat benda). Diakhir tugas murid-muridku harus membuat laporan, tidak ada sesuatupun yang ditulisnya. Ketika murid-murid lainnya selesai dalam waktu kurang dari satu jam, ia belum menulis satu hurufpun! Aku menghela nafas. Aku merasa sudah cukup berusaha dengan mendudukkannya di dekat tempat dudukku agar bisa aku monitor. Tapi nampaknya tidak berhasil. Atau belum?
Setelah serangkaian surat dilayangkan kepada orang tuanya mengenai anak itu, Uminya menjanjikan akan menemui psikolog sekolah sesuai yang dijadwalkan. Bayangkan, 4 minggu berturut turut ia tidak datang, terkadang alasannya karena repot, kadang alasannya tidak membaca surat panggilan itu, atau alasannya karena si anak tidak memberitahukan surat itu. Aneh! Menurutku, seharusnya Uminyalah yang lebih gesit menanyakan perkembangan putranya. Tetapi yang terjadi adalah, orang tuanya sangat mengandalkan guru les. Hampir seluruh temanku pernah dimintanya memberi les tambahan, tetapi hampir semuanya menyerah hanya setelah melewati beberapa kali pertemuan. Berkali-kali kukatakan dalam sebuah pertemuan, agar di rumahpun harus selalu dibimbing. Tidak bisa hanya mengandalkan remedial dan les privat saja. Selama ini aku tidak mendapatkan kemajuan yang cukup berarti.
Berdasarkan penelitian psikolog dari pengamatan perilaku, Mehdi melakukan pertahanan diri jika berhadapan dengan orang dewasa. Ia selalu merasa bahwa semua orang dewasa adalah ancaman baginya. Ia diam, tidak membuka diri, dan kelihatan seperti bersiaga terhadap serangan. Tatapan matanya selalu waspada. Ia merasa orang dewasa pasti akan menyerangnya.
Ya Allah................menurut Psikolog sahabatku itu, sudah terlalu lama anak itu mengalami kekerasan dan ketakutan, sehingga tidak mampu menerima penjelasan apapun dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Ah....aku maklum mengapa ia diam saja, menatap kemana-mana atau bahkan hanya menunduk jika kudekati. Kertasnya selalu kosong. Nothing less than that!.
Hasil tes intelegensi menyatakan bahwa angka kecerdasannya diambang batas rata-rata rendah. Perlakuan yang harus diterimanya adalah tidak memaksa, mengamati pekerjaannya dari belakangnya atau sampingnya, sehingga ia tetap merasa nyaman dan tidak diawasi. Beri dorongan dan pujian jika ia berhasil. Aku baca berulang-ulang hasil tes dan saran perlakuan. Tetapi aku merasa apakah tidak terlalu terlambat untuk semua ini? Aku mulai dihinggapi putus asa. Apa yang harus kulakukan?
Suatu siang sepulang sekolah, kuajak Mehdi berbicara serius tentang dirinya. Aku ingin mencoba membuka pikirannya. Entah akan berhasil atau tidak, aku ajak ia bicara serius.
“ Mehdi, Ibu sayang sama Mehdi. Ibu ingin Mehdi berhasil. Eh, kalau sudah besar Mehdi mau jadi apa?” Sambil bertanya begitu aku ingat ketika ia mewarnai gambar orang dan menulis cita-citanya, ia bercita-cita jadi supir truk. Ya...buatku jawaban itu menggelikan meski siapapun boleh bercita-cita menjadi apa saja yang disukainya. Kupikir menjadi supir truk adalah sesuatu yang cukup berharga buat Mehdi. Aku menghargai tulisannya.
Namun ketika semua murid-muridku menulis cita-cita ingin menjadi dokter, insinyur, banker, pengusaha, pilot atau minimal guru, buatku jawaban Mehdi paling unik. Ketika aku tanya lagi,
“Kenapa kamu pingin jadi supir truk, sayang?”
“Ngggak tau! Mau aja!” Jawabnya senyum-senyum sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya.
“Enak ya jadi supir truk, bawa mobil besar? Bisa jalan-jalan kemana-mana.”
“Ya gak enak lah! “
“Lalu, kenapa kamu memilih cita-cita itu kalau gak enak?” Sambil kubelai tangannya lembut karena ia mengatupkan kedua belah tangannya dengan sebuah pensil pendek dalam genggamannya. Sementara kepalanya tertunduk tidak berani menatap.
“Yaa....kan Mehdi gak bisa jadi yang kayak temen-temen? “ Katanya senyum.
“ Siapa bilang? Mehdi bisa asal rajin belajar. Semua orang juga bisa kalau tekun belajar” Kataku memberi semangat.
“Tapi.’kan Mehdi gak pinter seperti lainnya? Kata Umi Mehdi goblok” Masih tersenyum
“ Ah, masa’ Umimu bilang begitu? Maksudnya kalau tidak mau belajar jadi bodoh” Ungkapku sambil menahan nafas.
“ Iya. Kan Umi kalau marahin Mehdi ‘Dasar goblok! Bego!’ gitu. Ya emang Mehdi goblok kali’. Kan Mehdi gak bisa apa-apa” Sambil tersenyum ia menggelengkan kepalanya. Matanya yang kecoklatan bersinar sendu.
“ Mehdi, Ibu yakin Mehdi bisa. Karena Mehdi tidak bodoh. Tapi harus rajin belajar” Kataku dengan rasa prihatin.
Sudah jelas ia memiliki konsep diri yang rendah. Kugandeng tangannya, lalu kami melangkah keluar kelas bersama. Ia tampak nyaman. Di luar tukang ojek sudah menunggu. Kulepas dia dengan pesan agar berhati-hati, di rumah jangan terlalu sering nonton TV atau bermain gem computer. Entah usahaku berhasil atau tidak, itu adalah kisah setahun yang lalu.
Sekarang bocah ganteng itu sudah duduk di kelas tiga. Namun setiap bertemu di halaman sekolah, ia pasti tersenyum ceria sambil malu-malu melihatku. Kucubit pipinya mengucap salam dan menanyakan apa kabar. Ia tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum menunduk.
Sesekali Uminya masih meneleponku untuk memintaku mengajari anak itu secara privat. Kusanggupi saja dengan harapan ini akan berlangsung rutin dan intensive. Aku ingin ia berhasil menyamai kemampuan rata-rata anak lainnya.
Ternyata berbulan-bulan telah berlalu ia tidak datang juga. Alasannya adalah karena rumahnya sedang direnovasi sehingga semua buku-bukunya hilang entah dimana. Kadang tidak ada yang mengantar. Aku mengelus dada. Sampai sedemikian parahnyakah ketidak perdulian orang tuanya? Aku hanyalah orang lain yang peduli pada anak itu dan dimintai bantuan. Tak lebih yang bisa kulakukan. Ketika kutanyakan pada guru kelasnya sekarang tentang perkembangan Mehdi, jawabannya serupa dengan keluhan-keluhanku ditahun lalu. Masih mengalami kesulitan membaca, menulis, bahkan berkonsentrasi pada tugas. Banyak pekerjaan yang tidak dapat diselesaikannya di sekolah.
Sebulan lagi ulangan semester. Karena panik, Uminya meneleponku meminta bantuan serius. Kusanggupi ia untuk datang sesuai hari yang dijanjikan.
Sore itu Uminya mengantar Mehdi ke rumahku dan membawa segala buku yang diperlukan. Masya Allah! Aku tidak tahu harus mulai dari mana? Konsep pelajaran kelas tiga sudah lebih kompleks. Sementara aku harus mulai dari konsep sederhana Matematika, dan ia masih menghitung dengan jari angka 4 – 2 atau 6 + 3!!! Tadinya aku ingin mengajarinya pelajaran Bahasa Indonesia tentang lawan kata, atau membuat kalimat tanya dari sebuah kalimat berita. Namun satu setengah jam hanya menghitung 5 soal penjumlahan dan 4 soal cerita (yang harus kubimbing satu persatu).
Aku sudah mulai putus asa dan merasa tak sanggup. Ketika Uminya datang menjemput, aku ceritakan keadaan sebenarnya, sampai dimana perkembangannya, dan Uminya hanya menggelengkan kepala. Ketika kuberi nasihat Mehdi dan Uminya saling berbantah-bantahn dan saling menyalahkan. Aku tidak tahu siapa yang berbohong. Atau bagaimana proses mendisiplinkan jadwal belajarnya di rumah?
Tiga hari sudah berlalu. Aku tidak berani menjamin ia akan berkembang bahkan hanya seperlima saja dari target saat ini. Karena itu akan saling berkejaran dengan materi yang cukup berat baginya. Kurang lebih dua hari menjelang saat ulangan semester, Uminya meneleponku lagi, pukul sembilan lewat duapuluh enam menit. Memaksaku mengajarinya setiap hari untuk mengejar Ulangan Semester. Kusanggupi saja demi rasa kasihan pada anak itu. Meski sebetulnya jadwalku begitu padat. Hampir tanpa istirahat.
Kali inipun yang kualami tak jauh berbeda dengan yang lalu. Mehdi sulit sekali mengingat materi apapun. Mukjizat para Nabi dan Rasul meski sudah kuulangi, kugambar dengan symbol-simbol, kubolak-balik menjadi teka-teki mencari jejak, semisal gambar api membara lalu ada orang ditengahnya tidak terbakar, dengan tulisan Nabi Ibrahim a.s. di sekelilingnya dan seterusnya (hanya 6 Nabi) lalu kusuruh ia menarik garis sesuai arahnya, tetap saja salah tak keruan. Kutulis lagi dengan huruf-huruf singkat, kusuruh ia mengulangi setiap ucapanku (Drill) tetap saja tidak membekas. Hanya 6 mukjizat dan nama Nabinya menghabiskan waktu 1 jam 40 menit! Ia merasa bosan dan ingin belajar yang lain.
Malam itu kurenungi apa yang sudah berhasil kuperbuat untuk Mehdi. Aku merasa energi yang kukeluarkan tidak diterimanya dengan penuh. Bukan berarti aku jenuh. Hati nuraniku menyatakan, kenapa aku yang lebih peduli padanya sementara orangtuanya mengandalkan orang lain (baca:guru les). Atau mungkin sangat putus asa menghadapi kekurangan anaknya?
Au jadi ingat semasa aku kecil. Banyak tetangga ku yang Dianggap tak becus belajar oleh orang tuanya diberhentikan dari sekolah, lalu disuruh mencari pekerjaan, misalnya tukang timba air (zaman itu, pompa air mesin belum popular), atau jadi penjaga warung. Tapi untuk Mehdi, setelah 35 tahun lewat dari masa kanak-kanakku, apa harus seperti itu?

1 komentar:

Budhi Setyawan mengatakan...

salam kenal yaa.. wah bu guru.... pinter buat cerpen juga nih. pasti seneng yang jadi murid2nya, bisa banyak mendapatkan pelajaran tentang berimajinasi. Imajinasi sangat penting bagi tumbuhnya gagasan2 secara alami. Salam kreatif, dan terus menulis yaa... (Budhi Setyawan)