Kamis, 07 Februari 2008

Kopi Bi Inah

Kopi Bi Inah
Suasana pagi selalu menjadi bagian yang menjemukan bagiku. Mata terasa berat untuk terbuka dan selalu diliputi kantuk yang sangat membuai. Bagiku, suasana pagi adalah kesibukan, keributan, yang ibarat gundukan tanah yang menggunung dan sulit untuk diratakan kecuali dengan bantuan bulldozer. Begitu sulitnya bagiku untuk bangun pada pagi buta. Tidurku yang terasa nyaman dengan selimut dan AC sangat melenakan. Tak mudah bagiku untuk berkompromi dengan kesibukan yang mau tak mau harus kulalui.
Sudah lama aku berniat untuk berhenti dari tempat kerjaku yang sekarang ini. Rasa lelah yang teramat sangat membuat anak-anakku jadi kurang perhatian. Jika aku terlalu sibuk, bahkan sampai membawa pekerjaan kantor pulang ke rumah, jadwal belajar mereka jadi tidak terkontrol. Namun aku kerjakan juga pekerjaan ini hanya karena lokasinya sangat dekat dengan tempat tinggalku. Lagi pula aku kenal baik dengan pemiliknya. Beruntunglah aku memiliki seorang pembantu yang setia, Bi Inah, begitu aku memanggilnya.
Rutinitas pagiku biasanya berlangsung amat sibuk. Meski dibantu oleh seorang pembantu, tetap saja kepentingan anak-anak memerlukan tenaga ekstraku untuk mengurusnya. Begitu pula aku sendiri yang kadang harus bersiap-siap jika ada tugas presentasi program di beberapa perusahaan.
Seperti pagi itu, hari Senin, awal hari yang sibuk, aku bangun dengan tergopoh-gopoh menuju dapur. Sambil memicingkan mata aku melangkah dengan gontai. Tak sanggup aku membuka jendela lebar-lebar. Udara begitu dingin menggigit. Hujan semalaman turut menambah semilir hawa dingin pagi itu. Aku mengantuk sekali. Tidak biasanya aku bisa bangun sepagi itu.
Hampir saja aku lupa bahwa siang ini pukul sepuluh aku harus melakukan presentasi. Anak sulungku harus berangkat mengaji ke masjid dekat lapangan Blok Mawar, karena ia sekolah siang. Sementara anakku yang kedua harus berangkat pagi, karena ada upacara Senin seperti biasa.
Dua hari yang lalu, begitu bangun tidur, masih kurasakan hangatnya kopi buatan Bi Inah. Aromanya memenuhi seluruh ruangan. Kami sudah terbiasa minum kopi seduhannya bersama suamiku. Bukan kopinya yang nomor satu, tetapi racikannya yang terasa pas. Saat saat itu, hari demi hari kulalui begitu nyaman. Rutinitas pagi bersama suami dan anak-anak, menikmati hidangan yang selalu siap di meja makan setiap pagi, serta pemandangan seluruh ruangan yang bersih dan harum bekas pewangi pel lantai sungguh membuaiku untuk selalu merasa menjadi ratu. Ahh…nikmatnya!
Sembari kujerang air, kuintip pintu kamar Bi Inah yang sedikit terbuka. Aku terpaku memandangi kain kumal bekas mandi Bi Inah yang tergeletak rapi di kasurnya. Kain itu mengingatkan aku pada sosok Bi Inah. Pembantuku yang satu ini hidup menderita selama hampir empat puluh lima tahun usianya.
Aku masih ingat ketika pertama kali kujemput dia dari sebuah yayasan penyalur pembantu rumah tangga di bilangan Cempaka Putih. Tubuh gemuk dan kulit putihnya tertutup oleh kusut dan kumalnya penampilan. Rambutnya ikal dan selalu diikat dengan karet gelang. Jepitan hitam di kanan dan kiri kepalanya tak mampu memberikan kesan rapih. Aku pun merasa agak terkejut ketika terpaksa harus selalu memperlambat tempo bicaraku, dan mengeraskan volume suaraku jika berbicara dengannya. Ternyata dia mengalami kesulitan mendengar, dan setiap perintah yang kuberikan sebelum berangkat ke kantor harus aku ulang beberapa kali dengan harapan ia mampu menangkap dengan sempurna seluruh pesanku pada hari itu.
Pernah suatu hari aku memintanya membeli bumbu dapur dan daging satu kilogram di pasar dekat rumah. Kurang lebih 1 jam aku menunggu, tentu saja membuatku terlambat berangkat ke kantor.
“ Aduh, Bibiii…..lama sekali! Ibu sudah hampir terlambat! “
“Saya bingung, Bu! Tadi muter-muter cari jalan pulang, tapi sama tukang ojek dianter sampe ke Blok Tulip. Akhirnya, Bibi jalan kaki ke sini.” ucap Bibi dengan gemetar.
“Kenapa tidak naik angkot saja, Bi? ‘Kan lebih gampang, pasti melewati jalan rumah kita! Gak sampai sepuluh menit kok!” sahutku kesal.
Tak urung kuberikan saja urutan cara memasak rawon yang sudah kutulis untuknya. Kertas itu diterima. Sambil mengangguk-anggukkan kepala ia membacanya. Meski kelihatan lugu, ia sempat sekolah sampai kelas dua SD. Aku memang khawatir kalau kalau-kalau dia tidak mengerti perkataanku sehingga terpaksa harus mengulanginya beberapa kali. Tentu saja itu akan menyita waktuku.
Tak terasa sudah hampir pukul 07.00. Derit air mendidih di teko menyadarkanku dari lamunan. Kutuang air mendidih ke dalam dua buah cangkir yang sudah kuisi dengan bubuk kopi dan gula. Meski tidak tahu apakah akan seenak racikan buatan Bibi, tapi kupikir pas-pas sajalah. Yang penting begitu suamiku bangun tidur sudah terhidang kopi di meja makan. Susu untuk kedua anakku pun tak lupa kubuatkan. Si bungsu biasa bangun agak siang, karena belum sekolah. Tapi, siapa yang akan membangunkan, membuatkan susu, memandikan, dan menemaninya di rumah? Tak terasa kepalaku mulai berdenyut. Kuhirup kopi panas perlahan-lahan sesendok demi sesendok.
“Amiiiiiiiiiiii, cepaat…! Kalau terlambat kamu sendiri yang akan rugi, bukan Mama!” Panggilku setengah berteriak. Anak sulungku keluar dari kamarnya dan sudah siap dengan seragam mengajinya. Selesai minum susu dan mencium tanganku ia pergi bersama teman mengajinya.
Anak keduaku, Fathya juga demikian. Segelas susu buatanku habis diminumnya. Setelah itu ia segera berangkat begitu mobil jemputannya datang. Suamikupun bangun ketika mendengar teriakanku dan segera mandi.
Jangan bayangkan seorang suami bangun begitu mencium aroma kopi panas di dekatnya, seperti iklan di televisi. Suamiku berbeda, sudah terbiasa ada kopi panas di meja makan begitu ia bangun. Ia tahu bahwa akan selalu begitu setiap pagi. Aku tidak ingin membuatnya cemas karena tidak ada pembantu di rumah. Alih-alih dibantunya, pasti ia akan menyuruhku libur bahkan berhenti bekerja.
Aku tidak mau begitu. Aku tidak ingin menjadi perempuan yang tidak berdaya. (naluri feminisku pun muncul). Lihat nasib Bi Inah, janda beranak empat dari dua kali pernikahan. Kedua pernikahannya berakhir dengan perceraian.
Kata Bi Inah suami pertamanya adalah seorang pemabuk dan penjudi. Ia dikenal sebagai sampah masyarakat. Dengan perangainya yang buruk, tak heran bila Bi Inah menjadi salah satu korban penganiayaannya. Konon, di punggung Bibi terdapat bekas luka jahitan cukup lebar, dan panjangnya sekitar 8 centi. Luka itu adalah bekas bacokan suaminya.
Saat itu, sang suami ingin meminta kalung hasil tabungan Bi Inah untuk berjudi. Bi Inah tentu saja menolak, karena kalung itu murni hasil jerih payahnya membajak sawah milik orang lain. Dalam keadaan kalap dan mulut bau alkohol, ia merampas kalung tersebut dari belakang tengkuknya. Ibarat aksi perampokan, tarik menarikpun terjadi. Ketika Bi Inah hendak lari, punggungnya keburu disambar golok.
Darah segar membasahi dasternya yang terkoyak. Luka menganga di bagian punggung membasahi lantai semen. Si Bibipun ambruk ke lantai dengan tertelungkup dan jemarinya masih meremas kalung di lehernya. Karena tarikan begitu kuat, lehernya bagian depanpun terkena goresan kalung itu. Tak tahan diperlakukan sekejam itu, Si Bibi minta cerai dan melaporkan perbuatan suaminya ke polisi meskipun dalam kedaan gontai dalam pertolongan tetangga menuju puskesmas desa. Entah siapa pula yang mengajarkannya melek hukum.
Selama masa penyembuhan, kedua anak lelakinya yang berusia 6 dan 4 tahun dirawat oleh nenek mereka. Kerentaan membuatnya tak mampu lagi bekerja di sawah milik juragan beras. Sementara itu, sang kakek meninggal sudah cukup lama sewaktu Bi Inah masih berusia 12 tahun.
Dua minggu berlalu, atas bantuan orang-orang di rumah sakit tempat ia dirawat, Si Bibi pun pulang dengan gratis. Saat bertemu kedua anaknya, ia tumpahkan segenap rindu dengan selalu memeluk mereka dalam tidurnya. Setelah tubuhnya sudah dirasa kembali segar dan sehat ia mulai bekerja sebagai penggarap sawah harian untuk menafkahi kehidupannya bersama kedua anak-anaknya.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai penggarap sawah, di sebuah warung ia bertemu seorang lelaki yang mengaku supir bus antar kota. Perkenalan singkatpun terjadi, beberapa bulan kemudian, mereka menikah di hadapan penghulu desa. Biduk rumah tangga yang mereka jalani selama hampir lima tahun membuahkan dua anak perempuan. Namun, dua tahun belakangan, ketika suaminya sudah tidak lagi bekerja akibat dipecat oleh perusahaan ia mulai menunjukkan perangai buruknya.
Sumpah serapah kerap terlontar dari bibirnya setiap hari. Kedua anak tiri dan anak kandungnya acapkali menjadi sasaran kemarahan dan frustasinya. Bukan hanya mulut yang memaki pedas, ia juga menjadi ringan tangan. Benda benda di sekitarnya kerap dilempar atau dipukulkan ke tubuh sang istri, bahkan anaknya.
Sampai di sini aku merasa mual dan ingin muntah. Setiap hari kusaksikan berita kriminal, selalu saja ada kasus kekerasan terhadap perempuan. Kupikir tragedi semacam itu hanya ada di tivi, dari berita-berita kekerasan dalam rumah tangga, ternyata peristiwa pahit serupa itu juga dialami oleh pembantuku. Sedangkan aku mulai merasa bahwa Bi Inah bukan orang lain bagi keluarga kami. Maka emosikupun meluap-luap seolah aku sendiri yang mengalaminya.
“Bibi kapok sama lelaki ‘Bu! Ternyata semua lelaki itu sama, main pukul aja sama istrinya kalau lagi kesal. “ Aku terharu mendengar kisahnya ketika baru tiga hari bekerja di rumahku. Ia bercerita dengan bibir gemetar menahan tangis.
Saat itu aku kurang setuju dengan pendapatnya. Menurutku tidak semua laki-laki seperti yang diceritakannya. Terbukti suamiku adalah lelaki penyabar, humoris dan easy going. Aku merasa aman dan nyaman berada didekatnya. Aku selalu rindukan jika ia belum pulang kerja.
Cerita punya cerita ternyata peristiwa terakhir yang dialaminya mengakibatkan telinga kirinya tidak bisa berfungsi dengan baik. Retak di tulang bahunya menyebabkan ia agak kesulitan untuk menegakkan bahunya secara simetris. Kasihan………..! Hanya itu yang mampu kuucapkan dalam hati.
Seperti dibendung keraguan dan rasa malu. Bi Inah perlahan menceritakan segala pengalaman pahit hidupnya bersama suami keduanya.
“Ampun, Kang, ampun! Jangan pukuli anak-anak, Kang! Pukul saja aku kalau Akang marah!” Begitu jeritnya sambil menarik-narik kaos suaminya dari belakang.
Tanpa sadar ia tak melihat sang suami tengah mengangkat sesuatu dengan tangan kanannya, dan...........plokk!! Sebuah balok besar mendarat di pipi kiri Bi Inah. Terhuyung-huyung ia menahan sakit sambil memegangi pipinya. Belum sampai Si Bibi terjatuh di depan kamar mandi, pukulan kedua mampir di bahu kirinya dengan balok yang sama. Bibi pun pingsan. Darah mengalir dari telinganya. Ia tidak menyadari bahwa keempat anaknya menangis menjerit-jerit melihat ibunya dipukuli seperti itu. Anak lelaki pertamanya yang sudah akil baligh mengambil pisau panjang dari bilik dapur, lalu mengejar bapak tirinya sambil berteriak-teriak.
“Bangsaaat..........!! Sini kalo berani. Jangan lari!! Gua bacok lu!!!” Sambil mengacung-acungkan goloknya. Beberapa bahasa daerah tak jelas digumamkannya.
Melihat anaknya mulai kalap, karuan saja lelaki itu langsung kabur memasuki hutan, dan entah melarikan diri ke mana. Dengan napas terengah engah putra pertama Bi Inah kembali ke rumah, kemudian memanggil para tetangga untuk membawa sang Ibu ke Puskesmas.
Lagi-lagi si bibi dirawat di Puskesmas. Perawatan di Puskesmas itu adalah akibat perlakuan kejam suaminya yang ke dua. Ketiadaan ruangan yang memadai, sementara kebutuhan pasien semakin banyak, si Bibipun dipindahkan ke rumah seorang dokter. 3 minggu lamanya ia di rumah dokter dalam perawatan. Sementara ia tak tahu sama sekali nasib anak-anaknya. Siapa yang akan memberi mereka makan? Adiknya sudah lama bekerja di Jakarta, dan belum berkirim kabar sama sekali. Begitulah kisah tragis Bi Inah.
Dengan segala ketulusan aku memperlakukannya seperti layaknya keluarga sendiri. Keempat anak-anaknya selalu dikiriminya uang gaji secara rutin melalui salah seorang adik lelakinya yang bekerja di pabrik konveksi. Setahun sekali si Bibi pulang untuk berlebaran di kampungnya.
Sepanjang 5 tahun ini Bi Inah begitu setia melayani keluargaku. Ketika aku ingin menambah satu lagi pembantu untuk meringankan bebannya, ia menolak. Alasannya karena ia lebih puas bekerja sendiri. Aku tahu bahwa ia sangat sempurna dalam urusan kebersihan. Bahkan akupun tidak berani mengotori semua yang sudah dibersihkan dan ditatanya.
Kupikir, berat juga pekerjaannya karena rumahku begitu besar. Kami tidak pernah menyuruhnya untuk membersihkan seluruh ruangan setiap hari. Tapi dasar si Bibi, yang memang tidak pernah mau diam. Seluruhnya ia kerjakan sendirian. Seandainya saja dia bisa seterusnya bekerja di rumahku…..!
Dua hari yang lalu Bi Inah mendapat telepon dari adiknya, mengabarkan bahwa anaknya yang ketiga dan yang bungsu dibawa oleh bapaknya. Malam itu kulihat Bi Inah gelisah dan melamun. Aku menduga ada sesuatu yang dipikirkannya, sama seperti ketika ia minta izin padaku untuk membawa pulang baju dan tas bekas anak-anakku yang sudah tidak dipakai lagi. Namun malam itu ia terlihat jauh lebih gelisah dari biasanya.
“ Bibi kelihatannya gelisah? Ada apa? Kan kemarin sudah kirim uang ke kampung?” Aku terpaksa bertanya. Aku paling takut jika ia pulang kampung.
“ Bu………anak Bibi yang ketiga dan yang bungsu diambil Bapaknya. Sedangkan Bibi nggak tahu dia tinggal di mana? Perasaan Bibi jadi nggak enak.” Digigitnya bibirnya. Hidungnya memerah karena menahan airmata kesedihan. Jika begitu ekspresinya, berarti ini masalah serius. Kupikir-pikir anak ke tiganya pastilah sudah berusia belasan. Anak seumur itu pastilah bisa menjaga dirinya.
“ Bibi dengar dari adik Bibi, bapaknya anak-anak suka menjual perempuan ke Batam. Bibi takut anak Bibi dijual juga ‘Bu……..!” Ia mulai menangis.
Aku tidak tahan. Perutku langsung mulas bukan main. Betapa biadabnya lelaki itu! Tega menjual anak gadisnya yang masih dibawah umur. Itu kalau dugaan si Bibi benar. Yang aku tahu, penjualan ABG oleh orang tua kandungnya sendiri hanya marak di Thailand, negeri yang pernah kukunjungi 1 kali pada tahun lalu.
Aku bingung dengan persoalan yang menimpa Bibi. Ingin rasanya semua itu kulaporkan saja ke polisi. Tapi aku merasa malas mengurusnya. Lagipula aku tidak tahu detil persoalannya. Dengar-dengar polisipun malas menangkap orang-orang macam ini. Biasanya yang rela menyelidiki kasus-kasus begini adalah LSM. Apalagi ini menyangkut anak kandung, orang miskin pula yang tidak mungkin bisa mengeluarkan ongkos untuk sekedar biaya mencari jejak lelaki gombal itu.
Malam itu kuajak suamiku berdiskusi tentang apa yang harus kulakukan. Terus terang itu menyangkut ritme mobilitas keluarga yang pasti akan berubah jika Bi Inah pergi.
Akhirnya pagi itu kuantarkan Bibi ke terminal bus Pulo Gadung untuk pulang ke kampungnya daerah sekitar Pelabuhan Ratu. Kubiarkan ia mencari jalan sendiri mengatasi persoalan itu. Karena dugaan Bibi belum tentu benar, ada baiknya mengecek dulu, baru kemudian lapor polisi. Itu menurutku.
Satu hal yang aku pesankan padanya adalah, jangan pernah mau lagi disakiti oleh laki-laki siapapun juga (meski yang aku tahu ia kapok menikah lagi). Tapi aku memang tidak suka kekerasan dalam rumah tangga atau dominasi kaum pria di berbagai bidang.
Malam itu kulalui dengan sunyi. Tak terdengar suara tivi dikamar Bi Inah seperti biasa. Anak-anak sedang belajar di kamar masing-masing. Si bungsu tidur sejak tadi setelah aku menemaninya bermain. Tatapan mataku kosong menonton berita kriminal di tivi.
Ketika aku pindah channel, kusaksikan berita penangkapan seorang laki-laki yang kedapatan menjual wanita dibawah umur. Dua ABG yang diwawancarai oleh reporter mengaku sebagai anak kandungnya dan berasal dari Sukabumi. Seperti biasa, wajahnya disamarkan tehnik kamera. Hanya suaranya yang terdengar gugup, gemetar dan tertekan. Lelaki yang dipanggilnya bapak itu duduk terpaku di depan meja polisi dan mungkin beberapa reserse yang mengelilinginya. Mukanya lebar, tiap bagianpun besar-besar, hidung, kelopak mata, bibir dan pipinya penuh bopeng besar, hitam dan menyeramkan dengan brewok yang tak tercukur rapi. Pergelangan tangannya penuh dengan tato.
Dadaku bergemuruh menyaksikan tampang lelaki itu. Ingin aku berada di areal penangkapan itu dan memukulkan tanganku ke wajah jeleknya, tapi tidak mungkin. Firasatku mengatakan bahwa dia lah yang telah membawa kabur anak –anak si Bibi. Anak yang diwawancarai itupun adalah anak si Bibi.
Aku berlari menuju kamar tidurku seraya mengatakan pada suamiku bahwa bekas suami Inah sudah ditangkap polisi. Dengan mulut gemetar karena menahan geram kusampaikan bahwa aku tahu dari tayangan tivi. Tak sadar air mataku menetes dan aku menangis di pelukan suamiku.
Meski aku tidak pernah yakin bagaimana tampang lelaki biadab itu dan kedua anak gadis si Bibi, tapi aku merasa polisi sudah menangkap orang yang aku benci, yang membuat telinga Bi Inah agak tuli., dan bahunya menjadi tidak simetris lagi. Lelaki seperti itu memang pantas diberi hukuman mati. Aku tertidur setelah membayangkan Bi Inah kembali kerumah ini dengan wajah cerianya dan kopi racikannya yang paling enak di seluruh dunia…..

Bogor, Pk. 23. 56
10 Mei 2005

Tidak ada komentar: